spot_img

Tutup TPL Sebagai Panggilan Iman dan Gerakan Kepemudaan untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan

Oleh Ruben Cornelius Siagian

Harian Masyarakat | Di jantung Sumatera Utara, Danau Toba berdiri bukan hanya sebagai keajaiban alam, melainkan sebagai ruang teologis dan ekologis yang membentuk identitas orang Batak. Dalam pandangan antropologis, alam di sekitar Toba bukan semata lanskap fisik, melainkan ruang spiritual yang menjadi tempat bertemunya manusia, Tuhan, dan roh leluhur.[1]

Namun sejak 1984, harmoni itu terganggu oleh industrialisasi besar-besaran yang dilegalkan melalui izin operasi PT Inti Indorayon Utama yang kemudian berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).[2]

Empat dekade kemudian, luka ekologis itu belum sembuh. Di balik jargon pembangunan dan kesejahteraan, masyarakat adat terus kehilangan ruang hidup, sumber air, dan makna identitasnya. Gerakan “Tutup TPL” bukan sekadar seruan emosional, tetapi panggilan moral, teologis, dan ilmiah untuk meninjau ulang seluruh paradigma pembangunan yang mengorbankan manusia dan alam demi akumulasi modal.

Akar Struktural Konflik

Sejak awal berdirinya, TPL menjadi contoh paling jelas dari ekstraktivisme yang dilembagakan secara legal. Adapun total luas konsesi mencapai hampir 300.000 hektare, perusahaan ini menguasai sebagian besar wilayah hutan di sekitar Toba. Setiap revisi izin sembilan kali sepanjang tiga dekade menunjukkan pola kebijakan yang lebih berpihak pada korporasi ketimbang pada rakyat.

Dinamika Perubahan Luas Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahun 1984–2020
Dinamika Perubahan Luas Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahun 1984–2020
Sumber: Koalisi Indonesia Memantau. 2023. The Devil is in the Detail: Aroma Patgulipat Izin Toba Pulp Lestari (TPL). Jakarta, Indonesia.

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa sejak pertama kali ditetapkan pada 23 Oktober 1984 melalui SK HPH No. 203/Kpts-IV/84 oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo, luas konsesi PT Inti Indorayon Utama yang kini menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengalami perubahan berulang kali melalui sembilan kali revisi izin hingga tahun 2020.

Dalam teori politik-ekologi, ekstraktivisme seperti ini memperlihatkan bagaimana negara dan korporasi berkolaborasi dalam mengubah alam menjadi komoditas, dengan dalih pembangunan.[3] Proses legalisasi ini membungkus perampasan ruang hidup masyarakat adat dengan retorika “kepastian hukum”. Sehingga hukum bukan lagi pelindung, tetapi alat legitimasi ketimpangan struktural.

Tinjauan Hukum dan Peraturan

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Secara normatif, UU ini menegaskan bahwa hutan dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, praktik TPL justru melanggar substansi hukum ini. Penanaman eukaliptus di kawasan hutan lindung dan minimnya upaya pemulihan lingkungan menunjukkan pelanggaran terhadap Pasal 68 tentang kewajiban pemegang izin untuk menjaga fungsi hutan.

Secara hukum lingkungan, kepemilikan izin tidak menghapus tanggung jawab ekologis. Artinya, legalitas tanpa legitimasi sosial dan ekologi tetap merupakan pelanggaran moral dan hukum substantif.[4]

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

UU ini menegaskan prinsip kehati-hatian, partisipasi publik, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam praktik TPL, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam penyusunan AMDAL dan perencanaan wilayah operasional. Pasal 65 ayat (2) memberikan hak bagi warga untuk mendapatkan lingkungan sehat, tetapi hak tersebut terabaikan oleh pencemaran air dan udara akibat operasi industri pulp.

Kajian Purba, F. A., & Huka, E. C. (2024)  dan yang dilakukan oleh Manik mencatat bahwa TPL telah berkontribusi pada kerusakan ekologis Danau Toba dan penurunan kualitas air tanah di Tapanuli Utara.[5][6] Secara normatif, hal ini membuktikan kegagalan prinsip environmental accountability dalam penerapan hukum lingkungan nasional.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Pengakuan Masyarakat Adat

UU ini menjadi tonggak bagi pengakuan Desa Adat dan hak ulayat. Namun, masyarakat adat seperti di Pandumaan-Sipituhuta, Natumingka, dan Parmonangan tetap tidak diakui dalam struktur administratif negara. Padahal, Pasal 103 dan 109 secara eksplisit menyebut pelestarian nilai budaya dan sosial lokal sebagai tanggung jawab negara.

Ketiadaan pengakuan ini memperlihatkan bentuk kolonialisme administratif, di mana masyarakat adat dimarjinalisasi dari struktur hukum dan diperlakukan sebagai penghalang pembangunan.

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)

Undang-undang ini mempercepat proses perizinan dan menyederhanakan tata kelola lingkungan, namun di sisi lain menghapus ruang partisipasi masyarakat. Mekanisme konsultasi dan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) diabaikan, membuat masyarakat adat kehilangan kontrol atas tanah mereka.

Berdasarkan analisis hukum, UU Cipta Kerja merupakan contoh nyata neoliberalisasi hukum, di mana peraturan diciptakan bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mempermudah akumulasi modal.[7][8]

Peraturan Pemerintah Terkait Izin Usaha Kehutanan

PP No. 7/2021 tentang Perhutanan Sosial dan PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebenarnya dimaksudkan untuk redistribusi akses hutan. Namun di Sumatera Utara, implementasi kedua peraturan ini mandek karena dominasi korporasi besar seperti TPL. Akibatnya, konsep forest-based community empowerment hanya menjadi jargon tanpa realisasi.

Evaluasi Kepatuhan terhadap Prinsip FPIC

Dalam perspektif hak asasi manusia, prinsip FPIC, yaitu Free, Prior, and Informed Consent adalah standar internasional untuk menjamin persetujuan sadar masyarakat adat sebelum proyek dijalankan.[9][10]

Komponen Utama Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam Hubungan Standar, Proses, dan Relasi
Komponen Utama Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam Hubungan Standar, Proses, dan Relasi
Sumber: https://www.tnchumanrightsguide.org/module-2-free-prior-informed-consent/

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) berada di titik temu antara tiga elemen utama, yaitu Standard, Process, dan Relationship. Elemen Standard menekankan keselarasan dengan hukum internasional, bahwa Process menunjukkan pentingnya kolaborasi dengan komunitas masyarakat adat (IPLCs), sedangkan Relationship menegaskan perlunya kemitraan yang setara dan pembangunan kepercayaan. Ketiganya membentuk fondasi etis dan hukum yang memastikan pelaksanaan FPIC tidak hanya prosedural, tetapi juga berkeadilan dan partisipatif.

Seluruh proses perluasan konsesi dan operasi TPL tidak memenuhi prinsip ini. Sehingga TPL tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga komitmen internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Analisis Sosial dan Antropologis

Konflik TPL tidak bisa dipahami hanya sebagai sengketa ekonomi, tetapi juga sebagai krisis identitas dan kedaulatan budaya. Wilayah adat seperti Pandumaan-Sipituhuta dan Natumingka memiliki sistem nilai yang berpijak pada Dalihan Na Tolu, yaitu harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam.[11] Ketika hutan adat dikonversi menjadi kebun eukaliptus, harmoni itu hancur.

Dalam artikel studi yang berjudul Ecological Space yang diterbitkan oleh Oxford University Press, mengatakan bahwa hilangnya ruang ekologis adalah juga hilangnya ruang makna.[12] Konflik ini bukan sekadar soal lahan, tetapi soal keberlanjutan peradaban Batak.

Analisis Ekologis dan Lingkungan Hidup

Penanaman eukaliptus skala besar menyebabkan penurunan air tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan erosi tanah. Studi yang dilakukan oleh Lukman, A. (2017) juga menemukan penurunan debit air di beberapa DAS di Toba dan Asahan, serta peningkatan kadar logam berat di air permukaan akibat limbah industri.[13]

Kondisi ini memperlihatkan bahwa eksploitasi monokultur bertentangan dengan prinsip ekosistem adaptif, di mana keberagaman hayati justru menjadi penopang keseimbangan alam.

Dalam perspektif teologis, eksploitasi semacam ini juga merupakan bentuk dosa ekologis (ecological sin), karena melanggar mandat penciptaan (Kejadian 2:15) yang menugaskan manusia untuk memelihara, bukan merusak bumi.[14][15]

Analisis Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan

Klaim TPL tentang kontribusinya terhadap pembangunan daerah perlu dikritisi. Data pemerintah daerah menunjukkan bahwa kontribusi TPL terhadap PAD sangat kecil dibandingkan kerusakan ekologis yang ditimbulkan.

Lapangan kerja yang dijanjikan hanya bersifat sementara dan rendah nilai tambah, sedangkan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumber air, hasil hutan, dan tanah pertanian. Pola ini memperlihatkan asimetris ekonomi klasik, yaitu keuntungan dikonsentrasikan di pusat, sementara biaya sosial dibebankan ke pinggiran.

Secara ekonomi-politik, model TPL ini mengintrepetasikan kapitalisme ekstraktif, di mana alam diperlakukan sebagai bahan mentah tanpa memperhitungkan nilai ekologis dan sosialnya (Gudynas, 2013).[16][17]

Analisa Teologis dan Etika Kristen

Teologi Penciptaan mengajarkan bahwa bumi adalah anugerah Tuhan, bukan komoditas manusia.[18] Dalam kerangka eco-theology, pemeliharaan ciptaan adalah panggilan iman yang sejajar dengan kasih terhadap sesama.[19][20] Gereja dan organisasi Kristen memiliki tanggung jawab profetik untuk bersuara bagi bumi yang teraniaya.

Organisasi kepemudaan pemuda Kristen, dipanggil menjadi voice of conscience, yaitu suara nurani bagi rakyat dan alam. Sikap “Tutup TPL” bukan ekspresi kebencian, tetapi tindakan iman untuk menegakkan keadilan ekologis.

Tutup TPL sebagai Imperatif Moral Bangsa

Menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) bukanlah tindakan ekstrem, melainkan imperatif moral, hukum, dan ekologis. Gerakan ini berdiri di atas dasar hukum nasional, prinsip HAM internasional, dan panggilan iman Kristen.

Menjaga Danau Toba dan hutan Batak berarti menjaga masa depan generasi. Sebagaimana firman dalam Mazmur 24:1, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Maka bumi tidak boleh dikuasai oleh segelintir korporasi, melainkan harus dijaga sebagai warisan ilahi untuk semua ciptaan.

Referensi

[1] Sukanto Limbong dkk., “Danau Toba sebagai ruang moderasi beragama dan teologi pariwisata dalam perspektif hermeneutika biblika,” Jurnal Penelitian Agama Hindu 9, no. 3 (2025): 120–32.

[2] Fernando Tobing, “Sengketa Tanah Antara Masyarakat Adat Batak Dengan PT. Toba PULP Lestari Dan Pelanggaran Perbuatan-Perbuatan Yang Menciderai Aturan Kehutanan Di Wilayah Sumatera Utara,” Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis 2, no. 2 (2022): 77–88.

[3] Ir Eno Suwarno, Politik Kehutanan: Dinamika Kekuasaan, Regulasi, Dan Tata Kelola Indonesia (Penerbit Adab, t.t.).

[4] Lorraine Elliott, “Legality and legitimacy: the environmental challenge,” Legality and legitimacy in global affairs, Oxford University Press Oxford, 2012, 365–87.

[5] Fredi Ardo Purba dan Elsami Castigliani Huka, “Di Bawah Bayang-bayang TPL: Ekologi Pembebasan Untuk Memulihkan Kawasan Danau Toba: Teologi Pembebasan untuk Memulihkan Ekologi Danau Toba,” SANCTUM DOMINE: JURNAL TEOLOGI 14, no. 1 (2024): 1–20.

[6] Hardo Manik, Sejumlah alasan mengapa PT Toba Pulp Lestari (TPL) tidak relevan di Tano Batak karena mengakibatkan krisis sosial-ekologis dan alternatif solusinya, t.t.

[7] Didin Sabarudin, DISKURSUS EKONOMI: Perdebatan-Pertaruhan Ideologi dan Politik dalam Ruang Publik Relasi Ekonomi-Politik-Hukum dan Opini Publik (Tinjauan Omnibus Law Cipta Kerja) (PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers, 2024).

[8] Yuni Priskila Ginting, “Perspektif Pluralisme Hukum Pasca Pembentukan Undang Undang Cipta Kerja,” Majalah Hukum Nasional 51, no. 1 (2021): 59–71.

[9] Muazzin Muazzin, “Hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples) atas Sumberdaya Alam: Perspektif Hukum Internasional,” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 1, no. 2 (2014): 5.

[10] Philippe Hanna dan Frank Vanclay, “Human rights, Indigenous peoples and the concept of Free, Prior and Informed Consent,” Impact Assessment and Project Appraisal 31, no. 2 (2013): 146–57.

[11] Asrul Hamid dkk., “Kearifan lokal Dalihan Na Tolu sebagai pilar toleransi beragama pada masyarakat Tapanuli Selatan,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora 13, no. 1 (2024): 132–43.

[12] Timothy Hayward, Ecological space: The concept and its ethical significance, 2013.

[13] Anisah Lukman, “Penelusuran kawasan daerah aliran sungai (Das) asahan,” Buletin Utama Teknik 13, no. 1 (2017): 49–54.

[14] Cambry Pardee, “Making Earth Heaven: Ecological Implications of Genesis 1-3,” Leaven 21, no. 3 (2013): 3.

[15] Terence E Fretheim, “Genesis and Ecology,” dalam The Book of Genesis (Brill, 2012).

[16] Malena Antmann, “Capitalism and resource extraction: A Marxist value-theory approach to Latin American socio-environmental conflicts,” The Extractive Industries and Society 22 (2025): 101617.

[17] Puji Hariati, BAHASA YANG TERLUKA: Ekolinguistik Dalam Krisis Ekologi Global (Serasi Media Teknologi, 2025).

[18] Jürgen Moltmann, God in creation: A new theology of creation and the Spirit of God, no. 82 (Fortress Press, 1993).

[19] Greg Reich, Constructing an Eco-Theology through the Framework of Eschatology, Northwest University, 2013.

[20] Craig Sorley, “Christ, creation stewardship, and missions: How discipleship into a biblical worldview on environmental stewardship can transform people and their land,” International Bulletin of Missionary Research 35, no. 3 (2011): 137–43.

Profil Penulis

Ruben Cornelius Siagian

Sepanjang tahun 2025, Ruben Cornelius Siagian dikenal sebagai penulis muda yang konsisten menyuarakan pandangan kritis terhadap isu-isu politik, sosial, ekonomi, dan akademik di Indonesia. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media nasional dan lokal, menampilkan ketajaman analisis dan keberpihakan pada keadilan sosial. Ia menyoroti problematika kualitas jurnal ilmiah di Indonesia melalui Kabar Nusantara, mengulas makna kemerdekaan rakyat dalam Jubi, serta mengkritisi ilusi transparansi DPR di Birokrat Menulis dan Epochstream. Di Tatkala dan Lapan6 Online, Ruben membedah persoalan korupsi, oligarki, serta strategi energi nasional, termasuk peran energi nuklir sebagai solusi transisi hijau.

Konsistensinya dalam memperjuangkan partisipasi publik dan demokrasi tampak melalui berbagai tulisan di Rentak, Kebumen Update, dan Anotasi, di mana ia mengulas perjuangan mahasiswa, kasus Ferry Irwandi, serta krisis representasi politik. Kritik tajamnya terhadap konflik kepentingan kekuasaan, pembangunan simbolik IKN, hingga problem ketakutan DPR terhadap hukum menjadikannya salah satu penulis opini yang paling progresif di generasinya. Melalui publikasi di Kabar Aktual, Times Indonesia, Teropong News, Radar Cirebon, Marwah Kepri, dan Mistar.id, Ruben menegaskan peran intelektualnya dalam membangun kesadaran publik dan mendorong reformasi struktural di Indonesia.

Selain aktif menulis, Ruben juga memiliki rekam jejak kepemimpinan yang kuat. Sejak masa kuliahnya di Universitas Negeri Medan, ia aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sempat menjabat sebagai Ketua Komisariat GMKI FMIPA UNIMED periode 2023–2024. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Umum Senat Mahasiswa FMIPA UNIMED serta kini menjabat Sekretaris Lembaga Advokasi dan Pendidikan Pemilihan Umum DPD GAMKI Sumatera Utara. Pada 2023, ia mendirikan Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia, wadah kolaboratif bagi mahasiswa, dosen muda, dan peneliti di berbagai daerah.

Sebagai peneliti, karya akademiknya telah dipublikasikan dalam sejumlah jurnal bereputasi, termasuk Jurnal Lemhannas RI, Security Intelligence Terrorism Journal, Center of Middle Eastern Studies, dan Jurnal Pertahanan.

 

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news